Catatan Kuratorial TELINGA PANJANG Mengungkap yang Tersembunyi

Catatan Kuratorial TELINGA PANJANG Mengungkap yang Tersembunyi
oleh : Ray Bachtiar

Sebuah patung terbuat dari kayu setinggi kurang lebih 50 cm tersimpan di etalase Museum Nasional Jakarta. HAMPATONG namanya. Sosok Manusia berkuping panjang konon di taksir dibuat abad ke-16 M. sebagai perwujudan tokoh nenek moyang. Didirikan sebagai tanda untuk memperingati anggota desa yang sudah meninggal. Bukti bahwa pada saat itu Kuping Panjang sebagai identitas khas suku Dayak telah hidup dan bertahan selama ratusan tahun. Kabarnya keberadaan sang Kuping Panjang di abad 21 terancam pudar.  Seberapa banyak yang mampu mempertahankan tradisi memanjangkan telinga sebagai simbol status sosial dan kecantikan bagi kaum wanita dari jumlah populasi suku dayak masa ini?

“Di dunia fana tak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri.”

Timbul kekhawatiran manakala tradisi itu telah tiada. Fotografi sebagai bagian dari pencatat sejarah, merekam fakta visual dan momentum  secara vulgar, seolah membekukan waktu. Sebagai seorang fotografer, aku tergerak untuk mengabadikan mereka sebagai catatan sejarah bahwa tradisi itu pernah bertahan dan pernah ada.

Siapakah mereka yang bertahan?

Siapakah mereka  yang menyerah?

Apakah tradisi yang telah berlangsung

ratusan tahun ini akan berakhir?

Namun hati kecil Ati Bachtiar tetap mempertanyakan kebenaran tindakan yang telah diambilnya, apalagi saat kekhawatiran ibu dua anak ini seakan menjelma menjadi tugas berat karena harus blusukan menapaki jantung Kalimantan. Padahal suku Dayak tidak meminta dirinya hadir mendokumentasikan budaya telinga panjang. Namun Ati Bachtiar tetap bertekad menapakinya demi nazar sebagai rasa syukur setelah selamat dari tindakan pengangkatan rahim yang ia wujudkan dengan pendokumentasian misteri keberadaan budaya telinga panjang suku Dayak sebagai warisan dunia. Mengungkap misteri Hampatong yang tersembunyi. Perjalanan yang melelahkan dan berbahaya menggunakan kapal perahu kayu yang dipacu melawan arus, melewati riam sungai Mahakam hingga menghindari bongkah-bongkah batu tajam yang siap merobek lambung perahu menjadi menu harian yang pada akhirnya dirangkai dalam tiga kali kunjungan  diakhir 2016.
Garapan awal yang hendak disajikan dalam buku ini adalah menggunakan pendekatan portrait, namun seiring dengan perjalanan waktu, konsep kemudian berubah ditambah kompilasi aktivitas dan makna ritual yang tertuangkan dalam upacara budaya, ritus suku Dayak. Kisah yang tersaji seperti di dalam buku berdimensi 23 x 23 cm ini foto-fotonya disusun dan dirangkaikan hanya 3 minggu setelah pemotretan oleh suami yang juga fotografer, Ray Bachtiar Dradjat. Dan untuk perbaikan redaksi dirajut oleh Seno Gumira Adjidarma. Terbit pertama kali bulan November 2016.
Struktur penulisan buku ini dasarnya disusun oleh Ati, kemudian dibagi menjadi tujuh bagian dalam pembabakan cerita. Fragmen-fragmen tersebut menceritakan secara runut sebelum, saat proses pendokumentasian, hingga persoalan-persoalan yang perlahan tersingkap. Dalam fragmen pertama mengisahkan awal mula dan alasan mendokumentasikan, hingga menemui beberapa masalah yang ditemui di lapangan. Ati menceritaka bahwa untuk memotret sang telinga panjang tidaklah mudah, karena keberadaannya di ladang pada hari kerja, bukan di desa. Dengan demikian strategi pendekatannya yaitu dengan negosiasi melalui obrolan. Mungkin inilah keunggulan fotografer perempuan, karena bisa lebih mendekatkan dirinya dengan subyek, sehingga batas formal biasanya terbuka leluasa.
Fragmen ke dua mengupas tentang kesaksian migrasi suku Kenyah Apokayan, yang diceritakan oleh Pui Panyan (106 tahun) dari suku Dayak Kenyah Lepoq Jalan. Ia kehilangan kaki kanannya saat migrasi karena sebilah kapak menimpa kakinya. Selain itu Ati berkesempatan menyaksikan proses tanam padi di hutan ladang yang baru dibuka. Pola tanam tradisional yang masih dilakukan di sebagian suku Dayak, masih menggunakan panduan kalendar alam. Kegiatan menugal atau menanam biasanya dilakukan secara gotong royong. Di fragmen ke tiga diceritakan kegiatan piknik di sela-sela menugal atau setelah kegiatan tanam di ladang. Di kisah selanjutnya Ati dinyatakan sebagai anak angkat Christina Yek Lawing (67 tahun) dari suku Bahau, melalui prosesi adat yang singkat. Gelar yang didapatnya adalah sebutan Buaq yang berarti buah-buahan.
Di fragmen ke-empat mengisahkan di upacara ritual Dayak, disebut Ritual adat Pakenoq Tawai di Datah Bilang Ilir. Upacara ini merupakan ucap rasa syukur kepada yang Maha Kuasa, ditandai dengan kegiatan festival tari, paduan suara, hingga aktivitas lainya. Puncak acara ditutup dengan pencanangan Belawing Desa, yang sebelumnya dipasang 1975 pada masa orde lama. Dalam rangkaian upacara tersebut disertakan juga upacara Hudoq Pekayang dan Upacara Uman Undrat. Fungsi dan peran telinga panjang di ungkap di fragmen ke-lima. Ati merangkaikan cerita mengenai arti kecantikan bagi suku Kenyah Umaq Bakung. Termasuk proses pembentukan telinga menjadi panjang, yang membutuhkan kesabaran bertahun-tahun, kemudian berperan sebagai penanda status sosial. Selain memanjangkan telinga, di suku Bahau dan Kenyah dikenal juga seni rajah. Rajah-rajah tersebut sebagai penanda tingkatan status sosial sebagai bangsawan. Informasi hasil penelusuran Ati, mencatatkan kurang lebih 43 orang yang masih bertahan, bertelinga panjang.
Di fragmen ke-tujuh Ati menceritakan bagaimana Kenyah Bakung berduka, mengantarkan salah satu telinga panjang Amai Pejualang Njuk (88 tahun) ke peraduannya terakhir. Diakhiri secercah harapan dari desa Pampang.

Galeri Foto Karya Ati Bachtiar